image

My Hero (part 1) Beliau hanyalah seorang tukang tambal ban....

Beliau adalah orang yang saya kagumi.
Beliau adalah tokoh yang menginspirasi hidup saya. 

Beliau adalah seorang ayah dari 5 orang anak. Beliau bekerja hanya sebagai tukang tambal ban. Di rumahnya yang tepat berada di pinggir jalan wates dan sering dijadikan tempat penurunan penumpang bus, beliau membuka sebuah bengkel kecil. 


Bengkel itu, selain menerima permintaan tambal ban dan perbaikan motor atau sepeda, juga menerima penitipan barang maupun sepeda dari orang-orang yang akan ke pasar atau ke kota. Namun sekarang bengkel itu sudah tidak ada, karena dijadikan warung dan beliau sudah pindah rumah.

Meski hanya seorang tukang tambal ban, beliau bisa menyekolahkan semua anak-anaknya. 3 dari 5 anaknya bisa kuliah dan lulus. 2 diantaranya tidak kuliah karena yang satu memang tidak mau kuliah dan yang satu lagi, anak perempuan satu-satunya, sudah akan menikah. Bahkan, anak sulungnya, menjadi anggota sekjen MPR-RI sampai sekarang. Anak dari seorang tukang tambal ban jadi pejabat!!!

Anak keduanya, yang tidak mau kuliah, jadi juragan mebel di daerahnya. Anak ketiganya, memilih untuk mentransfer ilmu sebagai guru di sebuah STM. Anak ke empatnya, anak perempuan satu-satunya, sekarang pun menjadi guru TK meski tidak kuliah. Dan anak ragilnya, lulusan dari sebuah universitas jurusan Sospol, menjadi Kepala Kesra di kecamatan.

Beliau yang hanya seorang tukang tambal ban, namun mampu mendidik putra-putrinya hingga mereka sukses dan bisa dibilang mapan. Siapakah beliau?

Beliau adalah kakek saya. Kakek saya yang sangat saya cintai, ayah dari ibu saya. Ayah dari paman-paman dan om saya. Beliaulah yang mengajarkan saya dan juga anak-anaknya arti sebuah kesederhanaan, qana’ah, kejujuran, keikhlasan, ketaqwaan dan banyak lagi.

Kesederhanaan dan qana’ah, karena ia tidak suka hidup mewah dan foya-foya. Bahkan, saat paman saya yang pertama membuatkan beliau rumah, beliau sempat menolak. Namun, karena tidak ingin membuat sedih anaknya, ia pun bersedia menempati rumah yang bisa dibilang mewah di desa. Meski di hari tuanya, ia tidak ingin dimanja atau bersantai-santai ria. Meski anaknya sukses dan menempati rumah bagus, kakek tetap bersahaja. Masih suka memakai kaos oblong putih dan sarung kesayangannya. Padahal beliau mampu membeli baju-baju bagus lainnya.

Jujur dan amanah. Saat masih bekerja di bengkel, beliau dititipi bermacam-macam barang dan makanan. Jika ada anaknya yang meminta, tidak boleh karena itu bukan haknya. Bahkan waktu ibu saya masih kecil, ibu sempat menangis karena tak diijinkan meminta makanan yang dititipkan. Meski ibu saya terus merengek dan menangis, tetap tak diijinkan mengambil.

Ikhlas. Beliau ikhlas memberikan apapun bagi anak-anaknya tanpa meminta imbalan di hari tua. Beliau sudah sangat senang melihat anak-anaknya mapan. Beliau ikhlas menerima penyakit paru-paru yang menyerangnya cukup lama. Hampir tak pernah mengeluh. Mengeluh hanya jika ibu saya yang menanyakan kabar beliau. Karena beliau tak ingin merepotkan siapapun karena ia sakit. 
Ikhlas meski jatah warisannya direbut oleh kakaknya. Bahkan ia tak mau mempermasalahkan lagi. “bandha iku ora digawa mati kok ( harta tidak dibawa mati kok).” Ikhlas meski kakaknya dulu sangat jahat padanya, bahkan kakek sering dihajar olehnya. Dan setelah tua, kakaknya sering minta uang padanya. Ia tetap memberi tanpa mengeluh dan tanpa mengungkit-ungkit kejahatan kakaknya.

Ketaqwaan dan aqidah. Beliau adalah tokoh tetua di desa. Biasanya, para tokoh tua di desa itu sering mengadakan pengajian dengan sesaji tiap hari atau perayaan tertentu. Namun, kakek saya, walaupun beliau bukan ustadz atau ulama, beliau tidk menyukai hal itu dan bahkan berusaha menghilangkan tradisi itu. Beliau paham bahwa hal itu syirik. 
Bahkan, beliau tidak percaya adanya Nyi Roro Kidul dan sebangsanya. “Sing nduweni lan sing njagani segara kidul ki yo mung Gusti Allah. Nyi Roro Kidul kui yo mung demit, jin, ora duwe kuasa apa-apa. Wong kabeh ki sik nyiptake Gusti Allah (yang mempunyai dan menjaga laut selatan ya hanya Allah semata. Nyi Roro Kidul itu hanya jin, tidak punya kuasa apa-apa. Kan yang menciptakan semuanya adalah Allah semata), itulah kata kakek saat saya-masih SD-bertanya apakah penguasa Laut Selatan adalah Nyi Roro Kidul. Haha, saya kagum pada beliau. Padahal di keluarganya ,beliau tidak dididik ajaran agama secara mendalam. 

Mungkin itulah hasil dari tarbiyah.
Kakek tak pernah lelah menuntut ilmu di mana saja, meski hanya sempat sekolah tidak sampai 5 tahun karena waktu kecil ia putus sekolah. Beliau harus membantu ayah dan ibunya bekerja. Apalagi waktu itu penjajahan Belanda dan Jepang. Dan pada saat dewasa pun ia ikut berjuang meski bukan sebagai tentara. Hanya sebagai rakyat biasa. Namun ia sering mengikuti kajian taklim di mana saja. Bahkan, ketika saya sudah dewasa, beliau masih sering pergi mengaji di masjid-masjid meskipun jaraknya jauh. 
Menuntut ilmu ditemani sepeda onthel kesayangannya. Semangat yang luar biasa bagi orang yang sudah lemah fisiknya, yang semakin tua, namun tak kalah oleh anak-anak muda.

Kakek. Sosok ayah yang sukses membentuk karakter anak-anaknya bahkan anak-anak asuhnya. Orang yang tak pernah lelah mendalami ilmu agama meski sudah tua hingga ia tak bisa bersepeda lagi karena penyakitnya. Orang yang bahkan di hari tuanya masih gemar membaca. Tetua yang paham akan aqidah dan berusaha meluruskan aqidah masyarakatnya. Seorang tukang tambal ban namun juga sebagai tokoh masyarakat yang disegani karena kejujuran dan kharismanya.

Saya bangga sempat memiliki kakek seperti beliau. Hanya do’a kini yang bisa terucap untuk kakek. Meski masih ada sesal kenapa di saat kakek pergi, saya tidak ada di sampingnya!

Saat ibu tahu bahwa kakek meninggal, ibu menelepon saya. saat itu saya sedang di sekolah, menunggu hujan deras reda. Ibu menelepon dengan suara serak dan hampir tidak terdengar karena ibu terus saja menangis. Saat saya mendengar ibu berkata bahwa kakek tidak ada, saya kaget dan bingung. Saya tetap berusaha menenangkan ibu meski hati saya juga hancur. Ibu menyuruh saya cepat pulang. Tapi motor saya tidak bisa keluar karena terhalang banyak motor dan hujan pun masih deras. Saya pun hanya bisa duduk dan berusaha menenangkan diri, tapi tidak bisa. Saya hanya bisa menangis hingga membuat teman-teman saya khawatir. Karena saat mereka bertanya kenapa saya menangis, isakan saya justru semakin keras. 

Itulah pertama kalinya saya merasa sangat sangat sedih ketika salah satu orang yang saya cintai meninggal dunia.

Itulah kakek saya. Seseorang yang mampu membuat saya menangis saat mengingatnya. Meski kami telah berbeda dunia, namun cinta dan ajarannya tak pernah terputus. Akan selalu mengalir terus hingga ke cicit-cicitnya kelak. 

Kakek yang memmbuat saya dan orang-orang terdekatnya bahkan orang-orang yang pernah mengenalnya merasa sangat kehilangan ketika ia meninggal dunia. Namun, insya allah, ia meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Beliau meninggal setelah sholat dhuhur. Meninggal seperti Rosulullah, meninggal dalam pelukan istrinya. Meninggal dalam dekapan nenekku.

Mbah Kakung yang tak akan terlupakan..
Yang selalu dalam doa orang-orang yang pernah mengenalnya.
Orang yang punya semangat luar biasa dalam menuntut ilmu.. :’)


0 comments:

Post a Comment

Pages