image

Klasifikasi Penggunaan Lahan dan Tutupan Lahan Pada Foto Udara Pankromatik Hitam Putih

Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup lahan (land cover). Penggunaan lahan biasanya meliputi segala  jenis kenampakan dan sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, sedangkan penutup lahan mencakup segala jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi yang ada pada lahan tertentu. Penggunaan lahan merupakan aspek penting karena penggunaan lahan mencerminkan tingkat peradaban manusia yang menghuninya.
            Townshend dan Justice (1981) juga memiliki pendapat mengenai penutupan lahan, yaitu penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Sedangkan Barret dan Curtis, tahun 1982, mengatakan bahwa permukaan bumi sebagian terdiri dari kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti vegetasi, salju, dan lain sebagainya. Dan sebagian lagi berupa kenampakan hasil aktivitas manusia (penggunaan lahan).
            Suatu unit penggunaan lahan mewakili tidak lebih dari suatu mental construct   yang didesain untuk memudahkan inventarisasi dan aktivitas pemetaan (Malingreau dan Rosalia, 1981). Interpretasi penggunaan lahan dari foto udara ini dimaksudkan untuk memudahkan deliniasi. Untuk dapat mempercepat hasil inventarisasi dengan hasil yang cukup baik, digunakan pemanfaatan data penginderaan jauh, karena dari data penginderaan jauh memungkinkan diperoleh informasi tentang penggunaan lahan secara rinci.selain itu,  adanya perrubahan pemanfaatan lahan kota yang cepat dapat pula dimonitor dari data penginderaan jauh.
           

Identifikasi, pemantauan, dan evaluasi penggunaan lahan perlu selalu dilakukan pada setiap periode tertentu, karena ia dapat menjadi dasar untuk penelitian yang mendalam mengenai perilaku manusia dalam memanfaatkan lahan. Dengan demikian, penggunaan lahan menjadi bagian yang penting dalam usaha melakukan perencanaan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan keruangan di suatu wilayah. Prinsip kebijakan terhadap lahan perkotaan bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dan pengadaan lahan untuk menampung berbagai aktivitas perkotaan. Dalam hubungannya dengan optimalisasi penggunaan lahan, kebijakan penggunaan lahan diartikan sebagai serangkaian kegiatan tindakan yang sitematis dan terorganisir dalam penyediaan lahan, serta tepat pada waktunya, untuk peruntukan pemanfaatan dan tujuan lainnya sesuai dengan kepentingan masyarakat (Suryantoro, 2002).
            Menurut Malingreau (1979), penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia baik secara permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan keduanya. Penggunaan lahan merupakan unsur penting dalam perencanaan  wilayah. Bahkan menurut Campbell (1996), disamping sebagai faktor penting dalam perencanaan, pada dasarnya perencanaan kota adalah perencanaan penggunaan lahan.
            Kenampakan penggunaan lahan berubah  berdasarkan waktu, yakni keadaan kenampakan penggunaan lahan atau posisinya berubah pada kurun waktu tertentu. Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi secara sistematik dan non-sistematik. Perubahan sistematik terjadi dengan ditandai oleh fenomena yang berulang, yakni tipe perubahan penggunaan lahan pada lokasi yang sama. Kecenderungan perubahan ini dapat ditunjukkan dengan  peta multiwaktu. Fenomena yang ada dapat dipetakan berdasarkan seri waktu, sehingga perubahan penggunaan lahan dapat diketahui. Perubahan non-sistematik terjadi karena kenampakan luasan lahan yang mungkin bertambah, berkurang, ataupun tetap. Perubahan ini pada umumnya tidak linear karena kenampakannya berubah-ubah, baik penutup lahan maupun lokasinya (Murcharke, 1990).
            Penggunaan lahan mencerminkan sejauh mana usaha  atau campur tangan manusia dalam memanfaatkan dan mengelola lingkungannya. Data penggunaan/tutupan lahan ini dapat disadap dari foto udara secara relatif mudah, dan perubahannya dapat diketahui dari foto udara multitemporal. Teknik interpretasi foto udara termasuk di dalam sistem penginderaan jauh. Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan cara menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1997).
            Penggunaan foto udara sebagai sumber informasi sudah meluas dalam berbagai aplikasi. Hanya saja untuk dapat memanfaatkan foto udara tersebut diperlukan kemampuan mengamati keseluruhan tanda yang berkaitan dengan objek atau fenomena yang diamati. Tanda-tanda tersebut dinamakan kunci  pengenalan atau biasa disebut dengan unsur-unsur interpretasi. Unsur-unsur tersebut meliputi : rona/warna, tekstur, bentuk, ukuran, pola, situs, asosisasi, dan konvergensi bukti (Sutanto, 1997). Untuk dapat melakukan interpretasi penggunaan lahan secara sederhana dan agar hasilnya mudah dipahami oleh orang lain (pengguna), diperlukan panduan kerja berupa sistem klasifikasi penggunaan lahan/tutupan lahan.
Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan dalam proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan citra penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi yang sederhana dan mudah dipahami. Sedangkan para ahli berpendapat Penggunaan lahan yaitu segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap maupun berpindah – pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kedua – duanya (Malingreau, 1978).
Pengelompokan objek-objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan persamaan dalam sifatnya, atau kaitan antara objek-objek tersebut disebut dengan klasifikasi. Menurut Malingreau (1978), klasifikasi adalah penetapan objek-objek kenampakan atau unit-unit menjadi kumpulan-kumpulan di dalam suatu sistem pengelompokan yang dibedakan berdasarkan sifat-sifat yang khusus berdasarkan kandungan isinya. Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan dalam proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan citra penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi yang sederhana dan mudah dipahami
            Sistem klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan adalah sistem klasifikasi penggunaan lahan menurut Malingreu. Dalam suatu kerangka kerja, menurut Dent (1981) dalam membuat klasifikasi penggunaan lahan dibagi menjadi tingkatan-tingkatan ynag terbagi menjadi kelompok-kelompok sebagai berikut :
                  i.            Land cover/land use Order (cover type);
                ii.            Land cover/land use Cover Classes;
              iii.            Land cover/land use Sub-Classes;
              iv.            Land cover/land use Management Units (comparable to land utilization types).
Dari klasifikasi tersebut oleh Malingreu diubah menjadi 6 kategori sebagai berikut :
                 i.            Land cover/land use Order e.g. vegetated area;
               ii.            Land cover/land use Sub-Order e.g. cultivated area;
             iii.            Land cover/land use Family e.g. permanently cultivated area;
             iv.            Land cover/land use Class e.g. Wetland rice (sawah);
               v.            Land cover/land use Sub-Class e.g. irrigated sawah;
             vi.            Land Utilization Type e.g. continous rice.
Klasifikasi penggunaan lahan menurut Malingreu yang digunakan didasarkan pada penutup lahan, klasifikasi tersebut sebagai berikut :
A.    Air
1.      Tubuh perairan
1.1.   Laut
1.1.1        laut terbuka
1.1.2        muara
1.1.3        corong
1.1.4        teluk
1.1.5        selat
1.2.   danau
1.2.1 danau vulkanik, kawah, cedera, vulkanik-tektonik
1.2.2 danau tektonik
1.2.3 atol koral tertutup
1.2.4 danau tapal
1.2.5 laguna
1.3. ponds (tebat)
1.3.1 tebat ikan air tawar
1.3.2 tambak
1.3.3 tambak garam
1.4. waduk
1.4.1 maksud tunggal
1.4.2 maksud ganda
1.5. daerah banjir
1.6. marse, rawa
2. aliran air
1.1. sungai, kali
1.2. saluran irigasi
1.3. saluran drainase
1.4. saluran irigasi dan drainase

B.     Area Vegetasi
1.            Daerah pertanian
1.1        Daerah pertanian menetap
1.1.1        tanaman musiman
1.1.1.1  sawah
1.      sawah irigasi
a.       padi 2-3 kali
b.      padi-palawija
c.       padi 1 kali
d.      padi-tebu
2.      sawah tadah hujan
a.       padi 1 kali
b.      padi-palawija
3.      pasang surut
a.       padi 1 kali
b.      padi-palawija
4.      lebak
5.      sawah surjan
6.      mina padi
1.1.1.2  tegalan tanah tinggi
1.      tegalan
2.      holtikultura
a.       kebun sayur
b.      sayuran dataran rendah
c.       sayuran pegunungan
1.1.2        sistem hutan pertanian
1.1.2.1  tegalan
1.1.2.2  kebun campuran : terbuka dan lebat
1.1.2.3  pekarangan
1.1.2.4  kebun
1.1.2.5  talun
1.1.3        perkebunan
1.1.3.1  perkebunan perusahaan
a.       tanaman keras
b.      teh
c.       karet
d.      kelapa
e.       kopi
f.       kelpa sawit
g.      coklat
h.      cengkeh
i.        tanaman lain
j.        tembakau
k.      tebu
l.        panili
1.1.3.2  perkebunan rakyat
1.2            daerah pertanian tidak  menetap
1.2.1        ladang, huma
1.2.1.1  dalam hutan belukar
1.2.1.2  dalam alang-alang
1.2.2        sistem hutan pertanian
1.2.2.1  tumpang sari
1.2.2.2  dalam hutan berawa
2.      daerah non pertanian
2.1            hutan primer
2.1.1        hutan klimatik
2.1.1.1  hutan hujan tanah tinggi
a.       hutan hujan pegunungan rendah
b.      hutan hujan pegunungan tinggi campuran tusam
2.1.1.2  hutan hujan daerah rendah
2.1.1.3  hutan musim
a.       eucalyptus
b.      jati
2.1.1.4  hutan bambu
2.1.2        hutan edhafik
2.1.2.1  hutan payau, bakau, nipah, palma
2.1.2.2  hutan pantai
2.1.2.3  hutan rawa
2.1.2.4  hutan gambut
2.1.2.5  hutan gerbang
2.1.2.6  hutan rawa
2.2            hutan sekunder
2.2.1        formasi klimatik
2.2.2        formasi edhafik
2.3            belukar/semak
2.3.1        daerah kering
3.      terus menerus
4.      belukar
5.      semak terpencar
6.      pepohonan dan semak
7.      savana semak
2.3.2 daerah basah
2.4 rumput
2.4.1.1 alang-alang
2.4.1.2 savana
2.4.1.3 padang rumput
2.4.2 rumput rawa
2.4.2.1 muras pantai
2.4.2.2 muras pedalaman/tanah tinggi
2.4.2.3 waduk/vegetasi hidrifik
2.5 tanaman hutan
2.5.1 hutan produksi
2.5.1.1 jati
2.5.1.2 mahoni
2.5.1.3 pinus
2.5.1.4 lainnya
2.5.2 reboisasi
C.     Tanah tak bervegetasi, daerah yang tidak dikerjakan untuk pertanian
1.      Daerah kritis tandus
2.      Pasir pantai
2.1  gisik
2.2  bukir pasir
2.3  pematang gisik
3.      singkapan batuan
4.      lava dan lahar
5.      gosong pasir sungai
6.      liang terbuka
D.    Permukiman dan daerah-daerah yang telah dibangun
1.      Kota
2.      Kampung
3.      Industri
4.      Lapangan terbang
5.      Jaringan
6.      Komunikasi
7.      Tempat rekreasi
Selain dari Malingreau terdapat beberapa klasifikasi peggunaan lahan menurut beberapa ahli seperti Ida Made Sandhi (UI) , Krostowizsky (Polandia), Sutanto (UGM), dan sebagainya. Beberapa pemerintah daerah melalui Bapeda juga membuat klasifikasi pengunaan lahan agar sesuai dengan kondisi setempat.

 Pembahasan dari hasil deliniasi untuk klasifikasi penggunaan lahan yaitu :

Hasil pengamatan berupadeliniasi penggunaan lahan (peta tentatif penggunaan lahan) foto udara pankromatik hitam putih YOGYA/BAKO/10-8-81 dengan skala 1: 30.000.

            Pada foto udara pankromatik hitam putih yang di deliniasi tersebut, berdasarkan klasifikasi penggunaan lahan malingreu menghasilkan kenampakan penggunaan lahan berupa:
1.      Sawah
      Pada foto udara pankromatik hitam putih yang diinterpretasi, terlihat beberapa kenampakan area vegetasi berupa sawah. Area sawah memiliki rona cerah pada foto udara pankromatik hitam putih. Selain itu, sawah juga dapat didinterpretasi berdasarkan letaknya yang berada di sepanjang pinggir jalan dan beberapa terletak di antara permukiman. Pemberian kode sawah yaitu B.1.1.1.1
      Pada peta tentatif penggunaan lahan (lampiran) dapat dilihat bahwa areal sawah masih cukup luas. Akan tetapi, dengan bertambahnya pembangunan di bidang industri dan permukiman menyebabkan areal sawah semakin berkurang. Sehingga, konversi lahan pertanian (sawah) menjadi lahan non pertanian semakin intensif dilakukan. Hal tersebut dapat menyebabkan berkurangnya lahan pertanian di wilayah Yogyakarta. Apabila lahan pertanian berkurang, maka produktivitas dalam bidang pertanian akan menurun. Pemenuhan bahan pangan pun terancam kurang.



2.      Permukiman kota
             Pada foto udara pankromatik hitam putih tersebut, daerah permukiman terlihat kurang detail, namun tetap dapat diinterpretasi, sebab berada di pinggir jalan dan terletak di antara area sawah. Permukiman kota juga nampak membentuk pola memanjang apabila terletak di sepanjang jalan. Namun, beberapa kenampakan permukiman kota memiliki pola yang tidak teratur. Kode permukiman kota adalah D1.
             Meluasnya wilayah permukiman kota di wilayah Yogyakarta disebabkan oleh adanya kebutuhan penduduk yang bermigrasi ke daerah tersebut, sehingga membutuhkan tempat tinggal yang banyak pula. Apabila wilayah permukiman semakin banyak tanpa diimbangi kontrol penggunaan lahan, lahan pertanian (sawah) semakin berkurang. Selain itu, akan banyak terjadi degradasi lingkungan seperti yang terjadi pada Sungai Code. Oleh sebab itu, dalam pembangunan permukiman harus diperhatikan ekosistem yang ada di sekitar wilayah tersebut.                       Saat ini, pembangunan permukiman di wilayah Yogyakarta semakin banyak dilakukan, seperti di Yogyakarta bagian utara. Di daerah tersebut, banyak didirikan perumahan-perumahan. Akan tetapi, beberapa wilayah permukiman tidak memiliki perencanaan pembangunan yang baik. Akibatnya, banyak lahan pertanian dan perkebunan yang dikonversikan menjadi wilayah permukiman.

3.      Jalan Raya
             Jalan raya tampak sebagai garis-garis yang menghubungkan daerah penggunaan lahan satu dengan penggunaan lahan yang lainnya. Kenampakan jalan raya pada foto pankromatik hitam putih terletak di antara wilayah permukiman. Dalam foto udara ini jalan tampak memanjang melewati permukiman dan sawah hingga menuju ke lapangan terbang. Pemberian nama adalah Jalan Raya (garis warna merah).
             Di wilayah Yogyakarta bagian utara (lihat peta tentatif), jalan raya merupakan jalur penghubung bagi daerah satu dengan daerah lainnya. Jalan raya juga merupakan jalur aksesibilitas penduduk menuju suatu tempat, seperti ke bandara, pusat kota, dan sebagainya. Sehingga, jalan raya merupakan fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan berinteraksi.
             Pembangunan jalan juga harus memperhatikan lingkungan sekitarnya. Jalan raya juga harus dibangun berdasarkan kebutuhan penduduk. Pembangunan jalan raya tentu saja mengurangi kuantitas lahan dan ekosistem sebelumnya. Oleh sebab itu, pembangunan ruas jalan harus diimbangi dengan pelestarian ekosistem berupa penanaman vegetasi tertentu di pinggir jalan, atau terdapat taman kecil pada bundaran (contoh : bundaran UGM). Hal itu dapat dilakukan untuk menambah jumlah lahan hijau terbuka dalam rangka mengimbangi pembangunan jalan raya yang telah mengurangi beberapa lahan pertanian maupun lahan lainnya.

4.      Sungai
             Pada foto udara sungai tampak seperti garis yang berkelok-kelok dan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Dalam hal ini terlihat mengalir dari dataran tinggi ke arah wilayah permukiman kota dan sawah-sawah. Pada peta tentatif, sungai ini diplotkan dengan menggunakan garis warna biru.
             Sungai yang terlihat pada peta tentatif mengalir dari arah tenggara menuju barat laut. Dapat diinterpretasi bahwa sungai ini merupakan aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Kedua sungai ini termasuk sungai-sungai besar di Yogyakarta selain Sungai Gajah Wong. Sungai-sungai ini memiliki fungsi untuk mengairi sawah, memenuhi kebutuhan air penduduk sekitar (digunakan untuk mencuci, mandi, memasak), dan sebagainya. Akibatnya, sungai-sungai tersebut tercemar.
             Di pinggir sungai banyak pula didirikan permukiman oleh penduduk, misalnya di pinggir Sungai Code. Hal ini mengakibatkan kerentanan bencana banjir semakin besar, sebab area di pinggir sungai merupakan bantaran sungai yang seharusnya tidak boleh didirikan permukiman. Sebab, wilayah tersebut memiliki resiko terkena banjir saat ketinggian air sungai naik. Lahan bantaran sungai hanya boleh digunakan untuk lahan perkebunan atau tegalan yang tidak  tetap.

5.      Lapangan terbang
      Pada foto udara terlihat kenampakan berupa Lapangan Terbang (Adi Sucipto). Hal ini dapat dilihat dari adanya landasan pacu yang berbentuk lingkaran dan daerah yang agak memanjang di sekitarnya. Kode untuk Lapangan Terbang adalah D4.
      Bandara Adi Sucipto mendapatkan pengaruh dari Sungai Winongo. Sebab, saat air Sungai Winongo meluap, umumnya wilayah bandara tersebut tergenang air. Selain itu, beberapa wilayah di sekitar Bandara Adi Sucipto juga masih terdapat area sawah dan perkebunan.
      Pembangunan jalan raya juga dipengaruhi oleh adanya Lapangan Terbang tersebut. Sebab, jalan raya tersebut menjadi jalur utama penghubung antara daerah di Yogyakarta dan sekitarnya menuju bandara.

6.      Tegalan Tanah Tinggi
      Di wilayah selatan pada foto udara dapat diinterpretasikan adanya tegalan tanah tinggi berupa lahan yang memiliki penutup lahan beberapa vegetasi namun tidak merata atau lebat. Kode bagi Tegalan Tanah Tinggi yaitu B.1.1.1.2.
      Tegalan tanah tinggi umumnya terletak di samping areal sawah dan di dekat permukiman penduduk. Tegalan tersebut biasanya ditanami tanaman musiman seperti padi ladang, palawijaya, dan sebagainya. Sebagian masyarakat juga menanam padi gogo pada tegalan tersebut sebagai upaya pertanian lahan kering.
7.      Kebun
      Pada peta tentatif lahan, dapat diinterpretasikan adanya areal perkebunan di sebelah barat Lapangan Terbang (bandara Adi Sucipto).  Kode bagi kebun adalah B.1.1.1.2.
      Areal kebun ini ditanami tanaman hortikultura, palawija, dan sebagainya. Lahan kebun di daerah ini berbeda dengan kebun yang lain. Selain luasnya yang lebih sempit, jenis tanaman yang ditanam juga tidak sebanyak di areal kebun permukiman desa. Letak kebun yang dekat dengan bandara juga mempengaruhi jenis tanaman yang diusahakan. Sehingga, penduduk hanya menanam jenis tanaman tertentu seperti palawija.

sumber :
Bambang Saeful Hadi. 2007. PANDUAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH      Edisi Revisi I. Yogyakarta.
Kiefer T. M. dan Lillesand R. W., 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Gadjah Mada University Press. Bulaksumur, Yogyakarta.
pada tanggal 7 Maret 2012.

0 comments:

Post a Comment

Pages