image

Mega-mega kelabu



Semilir angin sore di pinggir pantai membuatku bergidik. Ditambah dengan rintik air hujan yang menetes malu-malu dari awan kelabu. Ya, kelabu. Sejauh mata ini memandang, hanya warna itu yang terlihat. Ombak yang biru itu kini tampak semakin pudar hingga berwarna kelabu. Apalagi, tak ada matahari di atasnya, membuat langit terlihat semakin suram. Membuat memoriku melayang jauh menembus kumpulan awan cumolo nimbus itu menuju suatu tempat. Dari tempatku berdiri, di beranda rumahku yang sederhana, menuju sebuah gedung yang penuh dengan  kemewahan.
Ku hela napas yang cukup panjang. Sebenarnya aku tak mau lagi mengingatnya, tapi selalu saja memori itu lepas dari tengkorak kepalaku. Mengalir seperti drama yang tak pernah ingin kulihat. Kemewahan itu.. Ya. Kemewahan itu sungguh nikmat. Hingga membuatku melayang di euphoria kekayaan. Ah, bahkan aku sudah merasa tak butuh Tuhan. 

* * *
“Jangan Krisna.. Jangan.. kalau kau ingin pergi, pergilah! Tinggalkan kami berdua di sini! Jangan kau bawa Shinta bersamamu!” teriak Rani, istriku, sambil menarik-narik lengan Shinta. Mencegahku untuk membawa anak semata wayang kami pergi bersamaku.
“sudahlah Rani. Biarkan anak perawanmu ini pergi. Ia akan menjadi putri di Jakarta nanti,” kata Rahwana, kakak Rani.
“Jahanam kau Rahwana. Kau racuni pikiran suamiku! Kau sudah menghancurkan keluarga kami!” balas Rani dengan sorot mata tajam.
Aku hanya bungkam. Kulihat Shinta menangis tersedu di sampingku. Tangannya masih ku genggam erat.  Kebingungan mulai terasa di kepalaku. Aku hanya ingin membuat hidupku lebih baik. Aku bosan menjadi nelayan   miskin. Aku muak dengan cuaca yang membuat ikan-ikanku lari. Aku benci badai yang telah merusak kapalku untuk berlayar. Aku lelah menanti bantuan dari pemerintah yang tak kunjung datang, hanya sekedar janji basa-basi di televisi. Ingin kuubah nasibku yang kelabu ini dengan pergi merantau ke Jakarta.  Bukankah Dia selalu menyuruh umatNya untuk berusaha?
“Hoy, Krisna, kenapa diam saja? Cepat bawa Shinta ke mobil. Bos sudah menunggu,” tegur Rahwana.
Segera ku tarik lengan Shinta keluar rumah, namun lagi-lagi Rani menghalangiku. Ia berusaha merebut Shinta. Bahkan, kini ia mulai menggelayuti kakiku. Tangannya melingkar erat di kakiku seakan tak bisa lepas. Menahanku untuk melangkah keluar dari gubuk usang ini.
“kumohon Krisna.. apa kau tega meninggalkan aku sendiri? Kau tega menghancurkan masa depan Shinta?” isak Rani. Ku pandang wajah istriku. Airmatanya mengalir deras seakan tak bisa berhenti. Terlihat guratan-guratan di wajah cantiknya. Guratan kemiskinan dan penderitaan bertahun-tahun. Aku heran, ia masih saja tetap bisa sabar. Sedangkan aku? Aku sudah muak.
Cukup lama kami saling berpandangan. Rani menatapku Seolah-olah ia berbicara padaku dengan bahasa yang tidak bisa diucapkan. Tatapannya mengisyaratkan kemarahan dan permohonan yang amat sangat kepadaku. Aku tidak tahan. Ku alihkan pandanganku menuju pintu. Namun, tiba-tiba..
Dug!
Rani tersungkur jatuh. genggamannya lepas dari kakiku. ia tampak menahan sakit, namun tatapannya tetap fokus ke arah ku dan Shinta. Tak kusangka Rahwana tega menendang adik kandungnya sendiri. Ingin kutolong Rani, namun tekadku sudah bulat. Aku akan pergi jauh!
“Makkkkk… emak.. !!! “ teriak Shinta sambil berurai airmata.
Segera kubawa Shinta menuju sebuah mobil Kijang Inova, hitam mengkilap. Kata Rahwana, mobil ini akan segera menjadi milikku sesampainya di Jakarta nanti. Kudengar sayup-sayup suara dari dalam rumah. Rahwana dan Rani saling memaki. Entah apa yang terjadi, tidak lama Rahwana keluar dari rumah dengan raut wajah murka. Dengan isyarat tangannya, ia menyuruh kami segera masuk ke dalam mobil.
“Kau apakan Rani? Apakah ia baik-baik saja?” Tanyaku pada Rahwana.
“Tenanglah, istrimu itu memang keras kepala. Tapi, dia sudah rela melepasmu pergi,” jawabnya.
Aku yakin dia berbohong. Rani memang keras kepala, dan dia tidak mudah mengubah pendapatnya terhadap sesuatu. Termasuk kepergianku dan Shinta. Aku hanya bias berharap Rani baik-baik saja. Aku akan selalu mengiriminya uang tiap bulan jika aku sudah bekerja di Jakarta nanti.
Mobil kami pun segera melaju menuju kota impian, Jakarta. Kota yang selalu kuidam-idamkan. Anehnya, bayangan rumahku dan kapal  karam yang kemarin ku bakar di belakang rumah justru memenuhi isi kepalaku. Kuedarkan pandangan keluar mobil.  Kuliahat gundukan awan besar menggantung di langit. Awan itu membuatku sebal. Sudah seminggu ia berwarna kelabu. Dan kini, perlahan hujan pun turun.
*****************************************************************************
Sudah hampir setengah tahun aku hidup di Jakarta. Kehidupanku berubah seratus persen. Seminggu setelah pergi dari kampong nelayan , aku ditawari pekerjaan sebagai menejer oleh seorang Bos Besar.
“Bos besar adalah seorang pengusaha kaya raya. Perusahaannya banyak. Kau tau? hutan-hutan di Kalimantan adalah milik Bos Besar. Hahaha. Kita bisa mendapat keuntungan banyak darinya,” kata Rahwana setibanya kami di hotel, ketika kami akan bertemu Bos Besar untuk pertama kalinya.
“Bagaimana mungkin hutan di Kalimantan bisa menjadi miliknya? Karena setauku hutan itu milik Negara dan juga milik rakyat,” timpalku.
“ Ah, masa bodoh, yang penting kita mendapat pekerjaan. Janganlah kau risaukan. Kau ini bukan pejabat. Biarlah mereka yang memikirkannya. Kita tak usah ikut-ikutan,” jawab Rahwana dengan nada seperti biasanya. Kasar dan acuh. Tapi memang benar kata Rahwana. Aku tak perlu risau karena aku akan segera mendapat pekerjaan dengan gaji tinggi.
Sejak saat itu, aku berhasil mengubah hidupku dan juga hidup Shinta. Sebenarnya, aku tidak tega melakukan semua ini pada putri semata wayangku itu. Aku bisa menjabat sebagai menejer karena Shinta. Ya. Bos Besar itu rupanya menaruh minat pada anakku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Toh, Shinta juga mendapat bayaran yang tinggi.
Kini, aku tidak perlu sudah payah mencari ikan untuk kemudian dijual. Aku tidak perlu risau lagi memikirkan makanan untuk mengganjal perut. Aku bisa makan kapanpun aku mau.
Aku merasakan nikmatnya memiliki sebuah kekuasaan. Aku bisa memerintah bawahankku untuk melakukan apa saja untukku. Sungguh, rasanya aku sudah masuk surga. Dan aku tidak butuh Tuhan. Karena Dia tidak pernah memberiku kesenangan. Dulu, ketika masih menjadi nelayan, aku rajin beribadah. Setiap hari aku berdoa dan bersujud agar aku mendapat ikan banyak. Namun, yang Ia beri  justru badai, jala robek, dan kapal karam. Sia-sia aku meminta siang dan malam. Huh!
Hari-hariku kini selalu penuh dengan kesenangan…
Kulihat istriku datang ke hotel sambil membawa jala ikan yang robek. Ia menatapku dalam-dalam. Tapi ia hanya diam. Ia berdiri mematung di depanku. Sungguh, aku ngeri melihat wajahnya. Wajah itu menunjukkan kemurkaan yang terpendam.
Ingin ku dekati Rani, namun Shinta menahanku. Ia mengisyaratkan aku untuk tetap pada posisi. Sementara ia berjalan mendekati Rani. Shinta menggamit tangan ibunya. Lalu keduanya pergi. Aku lari mengejar mereka keluar hotel. Namun, di luar hujan deras.  Awan-awan kelabu bergelantungan di atas. Petir menyambar ganas menhasilkan kilatan-kilatan seolah langit akan pecah. Aku terus berlari menembus hujan. Namun, Rani dan Shinta menghilang. Mereka hanyut dibawa hujan. Petir semakin menggila. Suaranya sangat keras hingga membuat telingaku sakit.
Kriing kriinng..
 Kenapa petir itu berbunyi seperti telepoon?
Kringg.. kringgg…
Ku buka mata. Ah, mimpi rupanya. Dan bunyi itu berasal dari handphone yang kuletakkan di samping bantal. Pantas suaranya menyakitkan gendang telinga.
“Halo, ada apa Rahwana?”
“Dasar pemalas! Daritadi ku telpon tak ada jawaban! Cepat datang ke Lounge. Bos Besar mengajak kita breakfast meeting. Ada hal penting yang ingin disampaikan kepadamu,” kata Rahwana dengan suara yang keras sehingga telepon ku jauhkan dari telinga.
“oke,”jawabku singkat.
“Heh! Jangan lupa, bawa Shinta juga. Ada pengusaha dari China yang ingin ‘memesannya’. Bayarannya mahal. Cepat kesini ya!” tambahnya.
Aku segera mandi dan mengenakan setelan jas terbaikku. Sepertinya akan ada proyek lagi. Aku sudah tidak sabar mengetahui berapa persen bagianku kali ini. Biasanya ada pejabat Negara  yang mengajak bos besar untuk bisnis. Sering, para anggota dewan itu bekerja sama dengan Bos Besar untuk menjual beberapa BUMN dan juga beberapa lahan Negara kepada investor asing. Sebab, Bos Besar bisa dikatakan ‘makelar’ dalam hal jual beli asset Negara. Ia menjadi agen penghubung antara pejabat dengan pihak asing.  Dan komisi yang didapat Bos Besar tidak sedikit. Tentu saja ini illegal. Aku tidak habis pikir, bagaimana mungkin para pejabat itu tega menjual asset Negara?
Dulu, waktu masih menjadi nelayan, sering kulihat kasus seperti ini di televisi hitam putihku. Dan kata penyiar berita, BUMN itu milik Negara dan tentu saja rakyat. Termasuk rakyat kecil sepertiku. Kini, aku memahami satu hal, bahwa kemiskinan memang tak mudah dihapuskan di Indonesia. Sebab, para pejabat itu justru menjual kekayaan Negara demi perutnya sendiri sementara rakyatnya menjerit kelaparan. Ah, terserah apa yang mereka lakukan. Yang penting hidupku sudah makmur.
Kulangkahkan kakiku menuju kamar Shinta. Kuketuk pintu kamarnya. Tak ada jawaban. Ah, mungkin dia masih tidur. Kuketuk lagi lebih keras, kupanggil namanya. Tetap saja kamar itu bergeming. Kucoba membuka pintunya, ternyata tidak dikunci. Aneh.
“Shinta, kunci pintu kalau kau akan tidur..” kataku padanya.
Namun, aku tah melihat Shinta di sana. Apakah dia sedang mandi? Tapi kulihat pintu kamar madni terbuka lebar. Ku tengok di dalamnya, tak ada siapapun di sana. Handphone-nya juga tidak aktif. Kemana dia?
Kulihat selembar kertas di meja kamar Shinta. Kubaca surat itu.
Untuk Bapak,
Saat Bapak membaca surat ini, aku sudah pergi jauh dari tempat terkutuk ini. Maaf, Shinta sudah tidak tahan lagi dengan semuanya. Shinta ingin bertobat, Pak. Tiap malam Shinta susah tidur memikirkan dosa-dosa kita. Shinta ingin pergi. Shinta tidak akan pulang ke kampung. Shinta malu pada Mak. Bapak tak usah mencari Shinta.
Semoga Bapak segera sadar.
Shinta

Kriingg.. kriinggg…
Suara handphone ku kembali berbunyi. Ah, berisik. Ku reject panggilan dari Rahwana. Aku tau, mereka pasti sudah menungguku di Lounge. Tapi, bagaimana dengan Shinta? Apa yang harus aku katakan jika mereka menanyakan Shinta? Aku diam, berpikir keras. Namun, akalku buntu. Aku hanya bisa mengarang jawaban palsu jika mereka menanyakan Shinta.
Aku keluar dari kamar Shinta. Sekarang masih jam Sembilan pagi. Namun, aktivitas di hotel sudah padat. Aku menuju ke lantai bawah menuju lounge hotel.
Ku buka pintu lift, ada beberapa karyawan dan para turis  asing di dalamnya. Para karyawan itu menyapaku seperti biasa.
Ting!
Aku sudah tiba di lantai satu. Suasana di lantai ini lebih padat karena banyak sekali para pengunjung yang check in dan ada pula yang ingin berjalan-jalan keluar menikmati kota Jakarta. Aku terus berjalan melewati beberapa ruangan dan ruang tunggu. Kusambar koran dari tempatnya yang ada di pinggir ruang tunggu. Sambil berjalan, kubaca judul headline hari ini.
Waspadai Teroris Ancam Jakarta
“Ah, mana mungkin teroris itu mampir ke hotelku. Haha. Ada-ada saja,” ujarku dalam hati.
Lounge sudah semakin dekat. Aku dapat melihat beberapa orang duduk di meja sambil mengobrol serius.
Bug!
“Maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” kata seorang pemuda yang menyeret  koper. Aku hanya tersenyum sebagai pertanda “tidak apa-apa”.
Pemuda itu menganggukkan kepalanya lalu segera beranjak pergi.
“Dasar anak muda” pikirku.
Tampaknya, pemuda itu juga akan pergi ke Lounge. Ia berjalan sangat cepat sehingga aku tertinggal jauh di belakangnya. Entah, apa yang terjadi selanjutnya. Tiba-tiba saja aku terpental ke belakang. Aku merasa sesak napas. Seluruh tubuhku sakit. Aku tertindih beberapa puuing atap dan dinding hotel. Kulihat asap kelabu mengepul menghalangi mataku. Aku tak bidsa melihat apa-apa. Semuanya terjadi begitu cepat. Dan selanjutnya hanya gelap.
            Ku buka mataku. Putih. Dimana-mana putih. Tak ada kelabu yang menusuk matakku. di mana aku? Apakah aku sudah mati? Tapi aku merasakan ada beberapa orang di sampingku. Apakah ini sudah kiamat? Apakah aku sedang di Padang Mahsyar bersama seluruh manusia untuk dihisab? Aku takut. Untuk pertama kalinya setelah aku menjadi menejer hotel, aku takut bertemu Tuhan.
            “Alhamdulillah, Mak ! Bapak sudah sadar!” kata seseorang yang aku kenal. Entah kenapa suaranya membuatku lega dan menyadarkan aku bahwa aku belum mati. Kulihat Rani dan Shinta di sampingku. Mereka mencium pipiku. Aku ingin bertanya kepada mereka apa yang terjadi padaku, namun bibirku kelu.
“hau.. heng.. huum…”
Apa yang aku katakan? Kenapa yang keluar dari mulutku justru sengauan tak jelas seperti ini? Kucoba menggerakkan tangan dan kakiku. Tak bisa. Aku tak merasakan apa-apa. Kenapa ini?
Tiba-tiba Shinta menangis. Kulihat Rani menahan isakan. Shinta menjelaskan semuanya padaku sambil tetap menangis. Rupanya aku menjadi salah satu korban bom bunuh diri yang terjadi di hotelku, tepatnya di depan Lounge hotel. Akibatnya, kini aku lumpuh total. Aku koma selama tiga hari. Saat Rani menunjukkan koran yang berisi gambar pelaku bom, aku terhenyak. Wajah itu tak asing. Dia adalah pemuda yang menabrakku di depan Lounge hotel. Ia pemuda yang menyeret kopernya dan berjalan mendahuluiku. Aku tak habis pikir.
Aku hanya bisa menitikkan air mataku. Kudengar gemuruh petir. Rupanya di luar sedang hujan deras. Aku bisa melihat sekumpulan mega kelabu dari jendela yang berada tepat di depan tempat tidurku. Sungguh, langit tampak begitu meresapi kesedihanku.
Aku tak bisa menggerakkan badanku. Aku marah, namun aku tahu ini akibat perbuatanku sendiri. Mungkin ini azab bagiku. Aku sadar bahwa Tuhan tau apa yang selama ini aku lakukan. Tuhan tahu dan Dia menunggu waktu yang tepat untuk membalasku. Dan sekaranglah waktu itu. Setidaknya, Tuhan masih memberiku hidup untuk bertobat.
                                                            END

Rizky Oktaviani

0 comments:

Post a Comment

Pages