Foto udara
Foto udara adalah salah satu jenis citra penginderaan jauh. Citra penginderaan jauh sendiri adalah data berupa gambar yang diperoleh dalam sistem penginderaan jauh (Sabins, 1987 dalam Soetoto, 2005 : 1). Atau disebut juga citra penginderaan jauh adalah gambaran rekaman obyek yang dihasilkan dengan cara optik, elektro-optik, optik-mekanik, atau elektronik (Simonett dkk, 1983 dalam Soetoto, 2005 : 1). Foto udara dengan spektrum gelombang tampak mata, ultra violet dekat, dan infra merah dekat dengan kamera sebagai sensornya.
Interpretasi Citra
Menurut Este dan Simonett, 1975: Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Ada tiga hal penting yang perlu dilakukan dalam proses interpretasi, yaitu :
- Deteksi : citra merupakan pengamatan tentang adanya suatu objek, misalkan pendeteksian objek disebuah daerah dekat perairan.
- Identifikasi : Identifikasi atau pengenalan merupakan upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan menggunkan keterangan yang cukup, misalnya mengidentifikasikan suatu objek berkotak2 sebagai tambak di sekitar perairan karena objek tersebut dekat dengan laut.
- Analisis : Analisis merupakan pengklasifikasian berdasarkan proses induksi dan deduksi, seperti penambahan informasi bahwa tambak tersebut adalah tambak udang dandklasifikasikan sebagai daerah pertambakan udang. Interpretasi citra penginderaan jauh.
Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yangmendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti.
Di dalam mengenali obyek pada foto udara atau pada citra lainnya, dianjurkan untuk tidak hanya menggunakan satu unsur interpretasi citra. Sebaiknya, digunakan unsur interpretasi citra sebanyak mungkin. Semakin ditambah jumlah unsur interpretasi.
Bentang Lahan
Istilah bentang lahan berasal dari kata landscape (Inggris), atau landscap (Belanda) dan landschaft (Jerman), yang secara umum berarti pemandangan. Arti pemandangan mengandung 2 (dua) aspek, yaitu: (a) aspek visual dan (b) aspek estetika pada suatu lingkungan tertentu (Zonneveld, 1979 / Widiyanto dkk, 2006). Ada beberapa penulis yang memberikan pengertian mengenai bentang lahan, antara lain:
1. Bentang lahan merupakan gabungan dari bentuk lahan (landform). Bentuk lahan merupakan kenampakan tunggal, seperti sebuah bukit atau lembah sungai. Kombinasi dari kenampakan tersebut membentuk suatu bentang lahan, seperti daerah perbukitan yang baik bentuk maupun ukurannya bervariasi / berbeda-beda, dengan aliran air sungai di sela-selanya (Tuttle, 1975).
2. Bentang lahan ialah sebagian ruang permukaan bumi yang terdiri atas sistem-sistem, yang dibentuk oleh interaksi dan interpen-densi antara bentuklahan, batuan, bahan pelapukan batuan, tanah, air, udara, tetumbuhan, hewan, laut tepi pantai, energi, dan manusia dengan segala aktivitasnya, yang secara keseluruhan membentuk satu kesatuan (Surastopo, 1982).
3. Bentang lahan merupakan bentangan permukaan bumi dengan seluruh fenomenanya, yang mencakup: bentuk lahan, tanah, vegetasi, dan atribut-atribut lain, yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia (Vink, 1983).
Hasil pengerjaan dan proses utama pada lapisan utama kerak bumi akan meninggalkan kenampakan bentuk lahan tertentu disetiap roman muka bumi ini. Kedua proses ini adalah proses endogen (berasal dari dalam) dan proses eksogen (berasal dari luar). Perbedaan intensitas , kecepatan jenis dan lamanya salah satu atau kedua proses tersebut yang bekerja pada suatu daerah menyebabkan kenmapakan bentuk lahan disuatu daerah dengan daerah lain umumnya berbeda.
Dilihat dari genesisnya (kontrol utama pembentuknya), bentuk lahan dapat dibedakan menjadi :
• Bentuk asal struktural
• Bentuk asal vulkanik
• Bentuk asal fluvial
• Bentuk asal marine
• Bentuk asal pelarutan karst
• Bentuk asal Aeolen / Glasial
• Bentuk asal denudasional
1. Bentuk Lahan Asal Struktural
Bentuk lahan struktural terbentuk karena adanya proses endogen atau proses tektonik, yang berupa pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran. Gaya (tektonik) ini bersifat konstruktif (membangun), dan pada awalnya hampir semua bentuk lahan muka bumi ini dibentuk oleh control struktural.
Pada awalnya struktural antiklin akan memberikan kenampakan cekung, dan structural horizontal nampak datar. Umumnya, suatu bentuk lahan structural masih dapat dikenali, jika penyebaran structural geologinya dapat dicerminkan dari penyebaran reliefnya.
2. Bentuk Lahan Asal Vulkanik
Vulkanisme adalah berbagai fenomena yang berkaitan dengan gerakan magma yang bergerak naik ke permukaan bumi. Akibat dari proses ini terjadi berbagai bentuk lahan yang secara umum disebut bentuk lahan vulkanik. Umumnya suatu bentuk lahan vulkanik pada suatu wilayah kompleks gunung api lebih ditekankan pada aspek yang menyangkut aktivitas kegunungapian, seperti : kepundan, kerucut semburan, medan-medan lahar, dan sebagainya. Tetapi ada juga beberapa bentukan yang berada terpisah dari kompleks gunung api misalnya dikes, slock, dan sebagainya.
3. Bentuk Lahan Asal Fluvial
Bentukan asal fluvial berkaitan erat dengan aktifitas sungai dan air permukaan yang berupa pengikisan, pengangkutan, dan jenis buangan pada daerah dataran rendah seperi lembah, ledok, dan dataran aluvial.
Proses penimbunan bersifat meratakan pada daerah-daerah ledok, sehingga umumnya bentuk lahan asal fluvial mempunyai relief yang rata atau datar. Material penyusun satuan betuk lahan fluvial berupa hasil rombakan dan daerah perbukitan denudasional disekitarnya, berukuran halus sampai kasar, yang lazim disebut sebagai alluvial. Karena umumnya reliefnya datar dan litologi alluvial, maka kenampakan suatu bentuk lahan fluvial lebih ditekankan pada genesis yang berkaitan dengan kegiatan utama sungai yakni erosi, pengangkutan, dan penimbunan.
4. Bentuk Lahan Asal Marine
Aktivitas marine yang utama adalah abrasi, sedimentasi, pasang-surut, dan pertemuan terumbu karang. Bentuk lahan yang dihasilkan oleh aktifitas marine berada di kawasan pesisir yang terhampar sejajar garis pantai. Pengaruh marine dapat mencapai puluhan kilometer kearah darat, tetapi terkadang hanya beberapa ratus meter saja.
Sejauh mana efektifitas proses abrasi, sedimentasi, dan pertumbuhan terumbu pada pesisir ini, tergantung dari kondisi pesisirnya. Proses lain yang sering mempengaruhi kawasan pesisir lainnya, misalnya : tektonik masa lalu, berupa gunung api, perubahan muka air laut (transgresi/regresi) dan litologi penyusun.
5. Bentuk Lahan Asal Pelarutan (Karst)
Bentuk lahan karst dihasilkan oleh proses pelarutan pada batuan yang mudah larut. Menurut Jennings (1971), karst adalah suatu kawasan yang mempunyai karekteristik relief dan drainase yang khas, yang disebabkan keterlarutan batuannya yang tinggi. Dengan demikian Karst tidak selalu pada Batugamping, meskipun hampir semua topografi karst tersusun oleh batu gamping.
6. Bentuk Lahan Asal Glasial
Bentukan ini tidak berkembang di Indonesia yang beriklim tropis ini, kecuali sedikit di Puncak Gunung Jaya Wijaya, Irian. Bentuk lahan asal glacial dihasilkan oleh aktifitas es/gletser yang menghasilkan suatu bentang alam.
7. Bentuk Lahan Asal Aeolean (Angin)
Gerakan udara atau angin dapat membentuk medan yang khas dan berbeda dari bentukan proses lainnya. Endapan angin terbentuk oleh pengikisan, pengangkatan, dan pengendapan material lepas oleh angin. Endapan angin secara umum dibedakan menjadi gumuk pasir dan endapan debu (LOESS).
Medan aeolean dapat terbentuk jika memenuhi syarat-syarat:
· Tersedia material berukuran pasir halus-halus sampai debu dalam jumlah banyak
· Adanya periode kering yang panjang disertai angin yang mampu mengangkut dan mengendapkan bahan tersebut.
· Gerakan angin tidak terhalang oleh vegetasi atau obyek lainnya.
8. Bentuk Lahan Asal Denudasional
Proses denudasional (penelanjangan) merupakan kesatuan dari proses pelapukan gerakan tanah erosi dan kemudian diakhiri proses pengendapan. Semua proses pada batuan baik secara fisik maupun kimia dan biologi sehingga batuan menjadi desintegrasi dan dekomposisi. Batuan yang lapuk menjadi soil yang berupa fragmen, kemudian oleh aktifitas erosi soil dan abrasi, tersangkut ke daerah yang lebih landai menuju lereng yang kemudian terendapkan. Pada bentuk lahan asal denudasional, maka parameter utamanya adalah erosi atau tingkat. Derajat erosi ditentukan oleh : jenis batuannya, vegetasi, dan relief.
KLASIFIKASI BENTUK LAHAN
Bentukan Denudasional (D) D1 Perbukitan terkikis D2 Pegunungan terkikis D3 Bukit sisa D4 Bukit terisolasi D5 Dataran nyaris D6 Dataran nyaris yang terangkat D7 Lereng kaki D8 Pedimen (Permukaan transportasi) D9 Pidmony (Disected D7) D10 Gawir (Lereng terjal) D11 Kipas rombakan lereng D12 Daerah dengan gmb lebih kuat D13 Lahan rusak | Bentukan struktural (S) S1 Blok sesar S2 Gawir sesar S3 Pegunungan antiklinal S4 Perbukitan antiklinal S5 Perbukitan sinklinal S6 Pegunungan sinklinal S7 Perbukitan sinklinal S8 Pegunungan monoklinal S9 Perbukitan monoklinal S10 Pegunungan dome S11 Perbukitan Dome S12 Dataran tinggi S13 Cuesta S14 Hogback S15 Flat iron S16 Lembah antiklinal S17 Lembah sinklinal S18 Lembah subsekwen S19 Sembul (Horst) S20 Graben S21 Perbukitan lipatan kompleks | |
Bentukan Volkanik (V) V1 Kepunden V2 Kerucut vulkan V3 Lereng atas vulkan V4 Lereng tengah vulkan V5 Lereng bawah vulkan V6 Kaki vulkan V7 Dataran kaki vulkan V8 Dataran fluvial vulkan V9 Padang lava V10 Padang lahar V11 Lelehan lava V12 Aliran lava V13 Dataran antar vulkan V14 Dataran tinggi vulkan V15 Planezes V16 Padang abu, tuff, atau lapili V17 Solfatar V18 Fumarol V19 Bukit vulkaan terdenidasi V20 Leher vulkan V21 Sumbat vulkan V22 Kerucut parasiter V23 Boka V24 Dike V25 Baranko | Bentukan Fluvial (F) F1 Dataran aluvium F2 Dasar sungai F3 Danau F4 Rawa F5 Rawa Belakang F6 Sungai mati F7 Dataran banjir F8 Tanggul alam F9 Ledok fluvial F10 Bekas dasar danau F11 Hamparan celah F12 Gosong lengkung dalam F13 Gosong sungai F14 Teras fluvial F15 Kipas alluvium aktif F16 Kipas alluvium tidak aktif F17 Delta F18 Igir delta F19 Ledok delta F20 Pantai delta F21 Batuan delta |
Bentukan Karst (K)
K1 Dataran tinggi karst
K2 Lereng dan perbukitan karst terkikis
K3 Kubah karst
K4 Bukit sisa batu gamping terisolasi
K5 Dataran alluvial karst
K6 Uvala, dolin
K7 Polje
K8 Lembah kering
K9 Ngarai karst
SPESIFIKASI PENAMAAN DAN WARNA DASAR BENTUK LAHAN
No. | Kode | Nama Bentuk Lahan Indonesia |
Bentuk asal Marine (M) warna dasar Biru | ||
1. | M1 | Rataan oleh abrasi gelombang laut |
2. | M2 | Zona tebing pantai curam berbatu |
3. | M3 | Zona gisisk pantai |
4. | M4 | Gugusan beting pantai, gumuk pasir |
5. | M5 | Ledokan antar beting gisik |
6. | M6 | Gumuk –gumuk pasir aktif |
7. | M7 | Gumuk –gumuk pasir tidak aktif |
8 | M8 | Rataan lumpur pasang –surut tak bervegetasi |
9. | M9 | Rataan pasang –surut bervegetasi |
10. | M10 | Dataran aluvial pantai terendah untuk tambak |
11. | M11 | Dataran aluvial pantai terendah untuk sawah |
12. | M12 | Teras marin abrasi/ Teras marin pengangkatan |
13. | M13 | Teras –teras marin/ Rataan marin terangkat |
14. | M14 | Karang atol |
15. | M15 | Karang |
16. | M16 | Rataan karang |
17. | M17 | Karang terangkat |
18. | M18 | Terumbu karang dengan rataan pasir koral |
19. | M19 | Laguna |
Bentukan asal Fluvial Origin (F) warna dasar Hijau | ||
20. | F1 | Dasar sungai |
21. | F2 | Danau, rawa-rawa, rawa belakang, sungai yang ditinggalkan |
22. | F3 | Dataran banjir, dataran banjir musiman/rawa belakang bekas alur sungai |
23. | F4 | Cekung fluvial/ rawa belakang atau dasar danau tua |
24. | F5 | Tanggul fluvial, gugusan aluvial |
25. | F6 | Teras aluvial |
26. | F7 | Kipas aluvial aktif |
27. | F8 | Kipas aluvial tidak aktif |
28. | F9 | Delta, tanggul alam dan gugusan delta kecil-kecil |
29. | F10 | Rawa belakang delta fluvial |
30. | F11 | Pantai delta |
31. | F12 | Aluvial aktif |
32. | F13 | Aluvial tua (tidak aktif) |
Bentuk asal denudasional (D) warna dasar Orange | ||
33. | D1 | Perbukitan terkikis dan tererosi ringan |
34. | D2 | Perbukitan terkikis dengan erosi sedang –berat |
35. | D3 | Perbukitan dan pegunungan terkikis |
36. | D4 | Bukit sisa terisolasi |
37. | D5 | Dataran |
38. | D6 | Dataran terangkat/ plato |
39. | D7 | Kaki lereng |
40. | D8 | Pedimen |
41. | D9 | Zona singkapan/ lereng terjal |
42. | D10 | Kipas aluvial dan rombakan kaki lereng |
43. | D11 | Daerah dengan gerakan massa tanah cukup berat |
44. | D12 | Sisi lembah curam |
Penggunaan Lahan
Landuse (penggunaan lahan) dan landcover (penutupan lahan) sering digunakan secara bersama-sama. Kedua terminologi tersebut berbeda. Mengutip tulisan Mas Hartanto “Lillesand dan Kiefer pada tulisan mereka tahun 1979 kurang lebih berkata: penutupan lahan berkaitan dengan jesis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada obyek tersebut. Townshend dan Justice pada tahun 1981 juga punya pendapat mengenai penutupan lahan, yaitu penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Sedangkan Barret dan Curtis, tahun 1982, mengatakan bahwa permukaan bumi sebagian terdiri dari kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti vegetasi, salju, dan lain sebagainya. Dan sebagian lagi berupa kenampakan hasil aktivitas manusia (penggunaan lahan)“
Overlay
Teknik overlay merupakan pendekatan yang sering dan baik digunakan dalam perencanaan tata guna lahan/ landscape. Teknik overlay ini dibentuk melalui penggunaan secara tumpang tindih (seri) suatu peta yang masing-masing mewakili faktor penting lingkungan/ lahan. Overlay merupakan suatu sistem informasi dalam bentuk grafis yang dibentuk dari penggabungan berbagai peta individu (memiliki informasi/database yang spesifik). Melalui penggunaan teknik overlay, berbagai kemungkinan penggunaan lahan dan kelayakan teknik dapat ditentukan secara visual. Skala peta dapat divariasikan mulai dari skala besar (untuk perencanaan regional) sampai skala kecil untuk identifikasi yang bersifat spesifik. Overlay juga digunakan pada pemilihan rute untuk proyek bidang datar (dua dimensi) seperti jalan dan jalur transmisi.
Klasifikasi Penggunaan Lahan National Land Use Database
Divisi | Kelas |
a. Pertanian | 1. Sawah/tanaman pangan |
| 2. Ladang |
| 3. Tanah Hijau |
| 4. Kebun Hortikultura |
| 5. Padang Rumput |
| 6. Batas Lading |
b. Daerah hutan | 1. Hutan Coniver |
| 2. Hutan Campuran |
| 3. Hutan berdaun lebar |
| 4. Hutan kecil |
| 5. Semak belukar |
| 6. Hutan gundul |
| 7. Lahan Penghijauan |
c. Padang Rumput | 1. Padang rumput |
| 2. Semak |
| 3. Pakis |
| 4. Dataran tinggi |
d. Air dan Lahan Basah | 1. Laut/muara |
| 2. Air terjun |
| 3. Sungai |
| 4. Rawa air tawar |
| 5. Rawa air garam |
| 6. Rawa |
e. Batuan dan tanah pesisir | 1. Batuan dasar |
| 2. Batuan pantai dan tebing |
| 3. Pasang surut pasir dan lumpur |
| 4. Bukit pasir |
f. Barang tambang dan tempat pembuangan akhir | 1. Tambang |
| 2. TPA |
g. Rekreasi | 1. Rekreasi di dalam ruangan |
| 2. Rekreasi di luar ruangan |
h. Transportasi | 1. Jalan |
| 2. Parkir Mobil |
| 3. Jalan kereta api |
| 4. Bandara |
| 5. Pelabuhan |
i. Permukiman | 1. Permukiman |
| 2. Lembaga Kemasyarakatan |
j. Bangunan Umum | 1. Bangunan institusi |
| 2. Bangunan Pendidikan |
| 3. Bangunan keagamaan |
k. Industri dan komersial | 1. Industri |
| 2. Kantor |
| 3. Grosir |
| 4. Gudang |
| 5. Sarana/fasilitas |
| 6. Bangunan pertanian |
l. Lahan/ bangunan kosong | 1. Sebelumnya dikembangkan kemudian kosong |
| 2. Bangunan kosong |
| 3. Lahan dan bangunan terlantar |
A. LANGKAH KERJA
1. Menyiapkan alat dan bahan praktikum;
2. Menyiapkan Citra Satelit Landsat-7 TM;
3. Menempelkan citra satelit Landsat-7 TM pada plastik trasparansi;
4. Membuat garis tepi menyesuaikan garis tepi citra satelit Landsat-7 TM;
5. Melakukan deliniasi penggunaan lahan dengan menggunakan Landsat-7 TM;
6. Memberi nama objek dengan dasar klasifikasi penggunaan lahan National Land Use Database dengan menggunakan spidol OHP;
7. Melepaskan plastik transparasi hasil deliniasi penggunaan lahan citra satelit Landsat Semarang dari citra satelit Landsat-7 TM;
8. Menempelkan citra satelit Landsat-7 TM pada plastik trasparansi yang kedua;
9. Membuat garis tepi menyesuaikan garis tepi citra satelit Landsat-7 TM;
10. Melakukan deliniasi bentuk lahan dengan menggunakan Landsat-7 TM;
11. Memberi nama objek dengan dasar klasifikasi bentuk lahan Verstappen (1985) dengan menggunakan spidol OHP;
12. Melepaskan plastik transparasi hasil deliniasi penggunaan lahan citra satelit Landsat Semarang dari citra satelit Landsat-7 TM;
13. Membuat tabel keterkaitan penggunaan lahan dan bentuk lahan.
Tabel 1. Keterkaitan Penggunaan Lahan dan Bentuk Lahan
BENTUK LAHAN | PENGGUNAAN LAHAN |
Rataan Lumpur Pasang Surut (M8) | Lahan Basah (2.3.2), Industri (3) |
Teras Marin Abrasi (M12) | Permukiman (D1), Industri (3), Tanaman Semusim (1.1.1), Jalan |
Dataran Aluvial pantai terendah (M11) | Tanaman Semusim (1.1.1), Jalan |
Dasar Sungai (F1) | Permukiman (D1), Hutan Campuran, Hutan , Jalan |
Lembah Sinklinal (S17) | Hutan |
Blok Sesar (S1) | Hutan Campuran |
Struktural (S) | Pertanian, Sungai |
Kepundan (V1) | Hutan |
Kerucut vulkan (V2) | Hutan |
Lereng atas vulkan (V3) | Hutan |
Lereng tengah vulkan (V4) | Hutan |
Lereng bawah vulkan (V5) | Hutan |
Kaki Vulkan (V6) | Hutan |
A. PEMBAHASAN
Hasil praktek penginderaan jauh acara 5 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk Klasifikasi Bentuk Lahan adalah deliniasi penggunaan lahan (peta tentatif penggunaan lahan) dan bentuk lahan (peta tentatif bentuk lahan) citra satelit Landsat-7 TM daerah Semarang (terlampir).
1. Penggunaan Lahan daerah Semarang
Dasar yang digunakan untuk klasifikasi penggunaan lahan adalah Klasifikasi Penggunaan Lahan National Land Use Database. Pada citra satelit Landsat-7 TM daerah Semarang yang di deliniasi tersebut, berdasarkan klasifikasi penggunaan lahannya menghasilkan kenampakan penggunaan lahan berupa Lahan Basah (2.3.2), Permukiman (D1), Industri (3), Tanaman Semusim (1.1.1), Jalan, Hutan Campuran, Hutan, dan Pertanian.
Daerah Semarang merupakan kota besar di Pulau Jawa bagian utara yang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah dan termasuk dalam kota yang maju dan modern saat ini. Penggunaan lahan permukimannya sudah cukup banyak dan menyebar di berbagai bagian kota Semarang. Di wilayah utara dekat pantai utara permukiman sangat mendominasi dan letaknya bedekatan dengan sumber mata air (sungai-sungai). Selain itu, di sana terdapat pula pusat industry berupa pelabuhan. Kegiatan industri seperti perdagangan, jasa angkut, dan lainnya berada di daerah tersebut. Jalan – jalan di kota Semarang dilihat dari aksesibilitas cukup baik dan merupakan jalan utama untuk dilalui kendaraan karena masuk dalam daerah pantai utara (pantura). Sungai-sungai yang mengalir di berbagai wilayah kota Semarang cukup banyak karena dekat dengan kenampakan Gunung Ungaran di bagian selatan kota Semarang.
Penggunaan lahan daerah hutannya pun cukup bervariasi, terdapat hutan, hutan campuran, dan pertanian sawah. Jika dibandingkan dengan daerah hutan yang lainnya, hutan campuran sangat mendominasi kota Semarang, hal ini dapat disebabkan karena alih fungsi lahan yang cukup tinggi dan menyebabkan hutan beralih fungsi menjadi lahan-lahan pertanian. Penggunaan lahan pertanian sawah masih cukup kecil jika dibandingkan dengan hutan campuran, sedangkan letaknya dekat dengan daearh permukiman. Hal ini dapat disebabkan karena sebagian besar penduduk kota Semarang bekerja di bidang pertanian. Penggunaan lahan hutannya sendiri masih cukup mendominasi sebagian wilayah kota Semarang dan terletak di sekitar Gunung Ungaran. Dengan proporsi hutan yang masih mendominasi ini membuktikan bahwa penggunaan lahan di kota Semarang masih cukup baik.
Selain kenampakan penggunaan lahan di atas, kenampakan lainnya adalah rawa dan laut. Kota Semarang merupakan kota yang langsung berbatasan dengan laut Jawa. Dengan letak kota yang sangat strategis ini, sangat menguntungkan sekali jika dilihat dari berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, apalagi kota Semarang telah memiliki pelabuhan sebagai akses pendukung dengan berbagai kota-kota lainnya dan pulau-pulau besar di Indonesia.
2. Bentuk Lahan daerah Semarang
Dasar yang digunakan untuk klasifikasi bentuk lahan adalah Klasifikasi Bentuk menurut Verstappen (1985). Pada citra satelit Landsat-7 TM daerah Semarang yang di deliniasi tersebut, berdasarkan klasifikasi bentuk lahannya menghasilkan kenampakan bentuk lahan berupa Rataan Lumpur Pasang Surut (M8), Teras Marin Abrasi (M12), Dataran Aluvial pantai terendah (M11), Dasar Sungai (F1), Lembah Sinklinal (S17), Blok Sesar (S1), Struktural (S), Kepundan (V1), Kerucut vulkan (V2), Lereng atas vulkan (V3), Lereng tengah vulkan (V4), Lereng bawah vulkan (V5), Kaki Vulkan (V6), dan laut.
Bentuk lahan Fluvial merupakan bentuk lahan yang terbentuk akibat tenaga air. Pada citra daerah ini terlihat strukturnya horizontal dan meluas dikanan kiri sungai, tekstur halus, rona agak gelap sampai gelap, contohnya adalah adanya kenampakan gosong sungai. Dataran aluvium terjadi di sepanjang aliran sungai, datarn banjir ada pada kenampakan daerah yang banyak terdapat sungai dan dekat dengan laut karena daerahnya juga tergolong dataran rendah. Rawa yang terlihat pada citra daerah Semarang adalah kenampakan bentuk lahan yang berupa wilayah yang terisi oleh air yang berupa genangan air dan tidak mengalir ke daerah disekitarnya.
Bentuk lahan Marine merupakan bentuk lahan yang terjadi akibat aktivitas gelombang laut. Kenampakan pada daerah Semarang ada pada wilayah utara karena letak pantainya di utara. Kenampakannya berupa dataran abrasi (rataan oleh abrasi gelombang laut) dan kedalamannya masih termasuk dangkal jika dibandingkan dengan wilayah Laut Jawa.
Bentuk lahan struktural merupakan bentul lahan perlapisan batuan yaang berbeda ketahanannya terhadap erosi. Bentukannya dapat berupa patahan dan lipatan dengan struktur topografi kasar, pola tidak teratur, dan pola aliran sangat tegak. Bentuk lahan struktural ini sangat mendominasi hampir seluruh wilayah Semarang yang terlihat pada citra Landsat-7 TM.
Bentuk lahan Vulkanik merupakan bentuk lahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api. Pada daerah Semarang ini, bentuk lahan struktural dipengaruhi oleh aktivitas Gunung Ungaran, sehingga membentuk bentuk lahan kerucut vullkan, lereng atas vulkan, lereng tengah vulkan, dan lereng bawah vulkan.
3. Keterkaitan Bentuk Lahan dan Penggunaan Lahan
Dengan melihat hasil praktikum pada tabel keterkaitan bentuk lahan dan penggunaan lahan maka dapat dianalisis sebagai berikut :
a) Bentuk lahan Rataan Lumpur Pasang Surut (M8)
Daerah ini merupakan daerah dengan kondisi tanah yang cukup labil. Sebab, banyak endapan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai, sehingga kondisi tanah tidak padat. Selain itu, daerah ini biasanya terendam air apabila air laut pasang dan akan terlihat apabila air laut surut. Pada Kota Semarang, bentukan lahan tersebut digunakan sebagai Lahan Basah. Selain itu, pusat industri juga berada di daerah dengan bentuk lahan Rtaan Lumpur Pasang Surut. Sebab, daerah tersebut berupa kawasan pelabuhan, sehingga kegiatan perdagangan maupun jasa berada di sana.
b) Teras Marin Abrasi (M12)
Wilayah ini digunakan untuk permukiman penduduk, industri, dan sebagian kecil digunakan untuk usaha tanaman semusim. Teras Marin Abrasi merupakan bentukan lahan yang dipengaruhi oleh kegiatan abrasi pantai. Apabila gelombang pantai cukup besar, daerah ini dapat saja mengalami abrasi. Namun, kondisi gelombang pantai utara yang tidak terlalu besar menyebabkan kawasan ini tidak begitu rawan abrasi. Sehingga, digunakan masyarakat sebagai lahan permukiman dan tanaman semusi di wilayah timur daerah tersebut.
c) Dataran Aluvial pantai terendah (M11)
Pada kawasan ini, masyakat menggunakannya sebagai lahan menanam tanaman semusim. Sebab, kondisi tanah tidak mampu untuk menghasilkan jenis tanaman yang produktif setiap waktu. Tanah di wilayah ini dipengaruhi oleh kegiatan marine, seperti jenis tanahnya yang masih berpasir. Sehingga, kurang cocok digunakan sebagai lahan pertanian.
d) Dasar Sungai (F1)
Topografi di kawasan ini cukup landai, sehingga banyak digunakan sebagai lahan permukiman oleh masyarakat. Beberapa bagian dari wilayah ini juga dimanfaatkan sebagai hutan campuran dan juga lahan pertanian. Kondisi tanah cukup stabil, serta cukup subur. Endapan tanah dibawa oleh aliran sungai yang berasal dari Gunung Ungaran di sebelah utara Kota Semarang. Hal tersebut menyebabkan kondisi tanah cukup lembab dan subur sebab mengandung unsure hara dan kadar air yang cukup. Sehingga, usaha pertanian dan hutan campuran dapat dilakukan di wilayah ini. Jalan-jalan juga dibangun di speanjang kawasan ini, sebab topografi kawasan ini tidak begitu terjal seperti di daerah lain. Sehingga, aksesibilitas masyarakat dapat dijangkau lebih mudah, seperti menuju ke pelabuhan dan pusat industri di bagian utara Kota Semarang.
e) Lembah Sinklinal (S17)
Kawasan ini memiliki topografi berupa lembah sinklinal. Pada citra saelit terlihat permukaan daerah ini tidak rata. Keadaan topografi yang demikian membuat kawasan ini dimanfaatkan sebagai hutan saja. Sebab, apabila dimanfaatkan sebagai permukiman, hal tersebut dapat membahayakan masyarakat. Daerah tersebut, dengan bentukan lahan berupa lembah akan sangat rawan terjadi bencana longsor.
f) Blok Sesar (S1)
Seperti namanya, kawasan ini memiliki kondisi geologis berupa blok-blok patahan yang terbentuk beberapa juta tahun yang lalu. Kondisi geologis kawasan ini tentu tidak stabil. Sehingga,masyarakat memanfaatkannya sebagai hutan campuran yang dapat memberikan hasil kepada masyarakat. Kawasan ini tidak dijadikan kawasan permukiman maupun industri dan pertanian, sebab topografi daerah ini sangat terjal dapat dilihat dari citra satelit yang ada.
g) Bentuk Lahan Struktural
Pada bentuk lahan Kota Semarang terlihat dalam penggunaan lahannya terdapat kenampakan sungai, hutan campuran, sungai, dan permukiman. Jika dilihat dari penggunaan lahannya didominasi oleh hutan baik hutan yang masih alami maupun hutan campuran. Analisisnya adalah penggunaan lahan pada bentuk lahan struktural masih cukup baik, artinya masih memperhatikan faktor lingkungan. Akan tetapi, jika tidak diperhatikan penggunaan lahannya maka akan terjadi alih fungsi lahan dari hutan alami maupun hutan campuran menjadi daerah permukiman.
h) Bentuk Lahan Vulkanik
Pada bentuk lahan dataran banjir kota Semarang terlihat dalam penggunaan lahannya terdapat kenampakan hutan, hutan campuran, dan permukiman. Penggunaan lahan pada bentuk lahan ini masih didominasi mayoritas hutan alami jika dibandingkan dengan bentuk lahan yang lainnya. Selain itu, mungkin juga dapat diakibatkan karena topografi yang tidak datar/dataran tinggi sehingga dari aksesibilitas kurang mendukung untuk berbagai aspek/ bidang kehidupan.
Secara umum keterkaitan antara bentuk lahan dan penggunaan lahan adalah sangat berpengaruh antara satu dengan lainnya. Bentuk lahan sangat berpengaruh terhadap penggunaan lahan daerah Semarang. Akan tetapi, jika penggunaan lahan kurang sesuai dengan tata guna lahan maka akan berdampak terhadap perubahan bentuk lahan (alami) yang ada.
0 comments:
Post a Comment