image

SEKOLAH ITU NGGAK PENTING [!] chapter #1


Yea, judul di atas tepat sekali bagi orang-orang “idealis” di desaku dan aku yakin di beberapa tempat lainnya. Sekolah itu nggak penting.

Karena apa?                     

 Karena banyak sarjana yang sudah menghabiskan duit bapak-ibunya, tapi hasilnya cuma jadi pengacara (pengangguran banyak acara). Jadi, sekolah itu bener-bener nggak penting. Itulah pemikiran sebagian besar orang tua. Pemikiran itu (parahnya) mereka wariskan ke anak cucu mereka. Alhasil, berkembanglah mazhab “Sekolah itu nggak penting”.


Lalu, apa yang mereka lakukan?

Beberapa anak yang merasa bosan sekolah (inget ! BOSAN, be o bo es a san) ditambah dukungan dari orang tua, keluar atau sengaja putus sekolah, lalu bekerja di industri rumahan kulit lumpia. Dengan begitu, mereka berhasil membuktikan bahwa lagi-lagi Sekolah itu nggak penting. Liet dooong, mereka yang notabene hanya lulusan SD/SMP saja bisa menghasilkan uang sendiri. Bisa beli motor, baju, dan gadget-gadget lainnya tanpa meminta kepada orang tua.

Bagi kita yang mungkin masih mengandalkan orang tua, hal itu tentu saja menohok. Secara kemandirian, kita mungkin kalah. Benar-benar kalah. Dan harusnya kita malu. Tak sekedar malu, tapi berusaha bagaimana agar kita sebagai mahasiswa, sebagai siswa yang maha (sama aja), mampu menghasilkan “koin” sendiri. Ya, anggap saja itu adalah smash dari kita kepada para pendukung mazhab “sekolah nggak penting” (cenat cenut dong, -_-“ eh). Kita berilmu dan mandiri juga (weeeekk). But that’s not the point..

Well, saya dan beberapa orang tua lainnya (saya bukan orang tua tapi, ehm) berpikir keras memikirkan solusi dari permasalahan yang menimpa desaku yang kucinta ini. Pada suatu hari, yang adalah kalo tidak salah kemarennya lusa, aku menonton Kick Andy. Narasumber yang didatangkan adalah para pendiri kelompok belajar atau bahasa pemerintahadalah sekolah kesetaraan. Ini seperti sekolah alam yang didirikan oleh Dik Doang. Tapi, kelompok belajar ini sedikit berbeda. berikut ceritanya :

Salah seorang Narasumber  adalah bpk. Bahrudin. Beliau pendiri kelompok belajar di Salatiga. Awalnyaa biasaa (eh, malah nyanyi). Tapi, saat beliau menceritakan prestasi siswa-siswanya, Luar biasa ! Luar biasa malu saya. Hampir seluruh siswanya pernah menerbitkan buku. Dan tak tanggung-tanggung, penerbitnya adalah Gramedia. Ada salah seorang anak (mungkin seumuran dengan saya) yang telah menerbitkan buku sebanyak.. eng ing eng.. 25 buku ! bang Andy saja sampai berkata “apa? Ini benar-benar menghina saya.” Bagaimana tidak, masih belia, tak sekolah di institusi pendidikan formal, tapi karyanya sudah sebanyak itu. 

Bagaimana dengan kita?? (siul-siul, liet ke atas :malu:).

Kelompok belajar tersebut atau sekolah tersebut memiliki sistem pembelajaran yang unik. Lebih ke pengembangan minat dan bakat mereka. Ada anak yang suka IT, ya dikembangkan. Ada anak yang suka sastra, mereka berkarya dengan bakat sastra tersebut. Bahkan, kelompok belajar ini memiliki karya nasional berupa Mars Kesetaraan yang sering diputer sama pemerintah kalau ada acara-acara terkait pendidikan. Woooow..

Nah, yang paling menarik perhatian adalah: sekolah ini tidak mewajibkan siswanya untuk mengikuti Ujian Nasional. Asik yaa, hehe. Kata Pak Bahrudin, UAN tidak mengukur kemampuan siswa secara komprehensif. Ada salah seorang siswanya, yang kebetulan telah menerbitkan buku berjudul “Lebih Asyik Tanpa UAN”. Di bukunya yang ia selesaikan pas setelah UAN selesai, ia berkata bahwa pada ujian bahasa Indonesia tidak ada soal yang membahas tentang drama. Padahal, anak itu suka sekali dengan drama. Ia sudah membuat buanyak sekali naskah drama dan sudah dibukukan pula. Hal itu menunjukkan, bahwa kepandaian siswa tidak mampu diukur hanya lewat UAN.

“Kita dianggap bodho oleh Negara, padahal sebenarnya kita pintar”
Analoginya, saat seorang atlit profesional karate ditanya berapa tinggi tiang gawang bola dan dia tidak bisa menjawab, maka ia dianggap bodoh. Padahal, dia pandai dan profesional di bidang olah raga karate. Artinya, kemampuan siswa yang berbeda-beda tidak bisa hanya diukur dari nilai-nilai berupa angka. Hanya dari menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di UAN.

Eniwei, anak yang menulis buku tadi ternyata Juara 1 terbaik di Propinsi lho (eh). Menulis tapi dia juga membuktikan bahwa dia smart.

Bahkan, setelah lulus ujian kesetaraan sekolah tingkat menengah atas, ia dan beberapa teman yang lain mendirikan SMU (Sekolah Menengah Universal) semacam kelompok belajar juga tapi khusus tingkat SMA, bagi anak-anak yang kurang mampu. Hebat !

Lalu, apa hubungannya mazhab Sekolah Nggak Penting dengan kelompok belajar kayak gini? Sekolah memang nggak penting ya? Atau gimana sih? Cekidot di postingan selanjutnya.

0 comments:

Post a Comment

Pages