image

BOULEVARD OF BROKEN DREAMS


Untuk mas-mas Greenday, saya ijin menggunakan judul lagu kalian ya J

The boulevard atau dalam artian bahasa Indonesia berarti jalan raya/ jalan besar. Sebenarnya, jalan raya dibuat untuk memudahkan aktivitas masyarakat sehari-hari. Memudahkan aksesibilitas suatu wilayah ke wilayah lain. Berangkat ke sekolah, pasar, kampus, kantor, atau bahkan untuk sekedar bersepeda ria sambil menikmati asap polutan yang kian menebal [!]


Namun, kini jalan raya seolah-olah menjadi tempat paling menyeramkan bagi sebagian besar orang. Dimana segala sesuatu yang ‘buruk’ hampir selalu ada di sana. Kecelakaan hampir setiap hari terjadi. Pengemudi ugal-ugalan, tak taat pada lampu lalu lintas, lampu belakang kendaraan mati, atau tidak menghidupkan lampu reting saat belok.

Ya, itulah wujud keegoisan manusia di jalan (baru di jalan, belum di lain hal). Di saat beberapa orang menggunakan fasilitas jalan raya sebagai penyambung mimpi, di sisi lain justru jalan raya merupakan pemutus mimpi (secara tidak langsung).

Tengoklah kejadian yang menimpa beberapa warga di Tugu Tani. Akibat seorang pengemudi yang berada di bawah pengaruh narkoba, beberapa orang yang merajut mimpi untuk pergi ke suatu tempat, meninggal secara tragis.

Kita memang tidak bisa menyalahkan jalan raya sebagai penyebab kematian. Sebab, kesalahan selalu dilakukan oleh manusia, makhluk egois. Dan kematian memang sudah menjadi takdir. Namun, cara untuk mati bisa kita ubah.

But still, boulevard of broken dreams is like a spell.

Permasalahannya, bukan mengenai kematian. Namun, penyebab kematian itu sendiri. Wujud dari ego seorang manusia yang menginginkan efisiensi saat di jalan raya tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. Tentu kita pernah tergesa-gesa menuju kampus atau kantor.  Ditambah jalan raya yang padat dan macet pun tak terelakkan. Bagaimana perasaan kita? Sebal? Marah? Marah pada siapa? Semua orang?

Kita punya hak dan kewajiban yang sama sebagai pengguna jalan. Kendaraan beroda empat wajib mengalah dan menghormati kendaraan lain yang lebih kecil. Kendaraan beroda dua, jangan selalu minta dihargai. Justru kini, kendaraan beroda dua lebih ‘berbahaya’ daripada kendaraan beroda empat. Sebab, ukuran yang lebih kecil menyebabkan ia lebih luwes. Meski terkadang keluwesan itu disalahgunakan untuk mengambil jalur para pejalan kaki (trotoar:red), untuk mengebut dengan kecepatan tinggi, dan untuk menyalip kendaraan lain secara asal.

Kita pernah seperti itu. Jangan munafik.

Bukan saatnya menyalahkan, tapi memperbaiki. Dan perbaikan itu harus dimulai dari diri kita sendiri. Jangan bpernah berpikir bahwa kita hanyalah minotitas lemah yang menginginkan perbaikan dan perubahan. Banyak yang berpikiran sama, hanya saja aksi kita yang berbeda.

Jangan sampai kita menjadi pemutus mimpi orang lain. Dan jangan sampai mimpi kita ikut terputus. Semua orang, setiap pagi khususnya, punya mimpi masing-masing. Bagi para penuntut ilmu, jalan raya bagaikan jalur menuju oase ilmu. Pagi para pekerja, jalan rayalah yang membuat mereka bertahan hidup. Sebab, banyak orang yang menjadikan jalan raya sebagai ladang rejeki. Jalan raya juga sebuah anugerah bagi para pengemban amanah. Tak perlu lewati rimba atau menyebrangi sungai dengan arus deras. Jalan raya adalah kemudahan bagi kita semua.

Maka, jadikanlah jalan raya benar-benar sebagai anugrah dan kemudahan bagi kita. Sebab, memang hanya kita selaku pemakai jalan raya yang mampu melakukannya.
jangan ada lagi potret keegoisan dimana seorang pengayuh becak harus menaikkan becaknya di trotoar karena ketidaksabaran seorang pengemudi mobil yang membunyikan klakson terus menerus.

Jangan ada lagi para pesepeda yang dianggap sebagai penghambat kendaraan lain.
Kita sebagai pengguna kendaraan bermotor harus sadar bahwa sebenarnya kita menimbun dosa. Kita adalah penyumbang terbesar global warming di bumi ini.

Sadarkah?

Kita termasuk saya dan anda, kita semua.

0 comments:

Post a Comment

Pages